Nasional-is-me? Antara Patriotisme dan Kesuksesan Pribadi

Madeleine Setiono
5 min readMay 13, 2019

Saya mengambil kelas Ilmu Politik pertama saya di Amerika Serikat di tahun 2016, tepat pada waktunya untuk pemilihan presiden negeri Paman Sam. Suatu hari, muncul pertanyaan dari Pak Dosen:

“What threatens democracy?”

Hening. Tiba-tiba, terdengar cuitan teman sekelas saya dari belakang; “Nationalism,” ujarnya.

Nasionalisme? Nggak salah? Saya kira saya salah dengar. Bukankah nasionalisme itu baik adanya? Bagaimana nasionalisme, yang notabene adalah alat pemersatu bangsa, bisa membahayakan atau bahkan merusak demokrasi di suatu negara? Bukankah malah sebaliknya? Berjuta pertanyaan langsung muncul di benak saya. Di bangku kelas itulah saya mengalami culture shock pertama (dan terakhir) saya semasa kuliah di Amerika.

Setahu saya, kata nasionalis atau nasionalisme sendiri tidak mempunyai setitik pun konotasi negatif. Di Indonesia, siapapun bisa dan berhak bangga mengaku sebagai warganegara yang nasionalis. Dari bintang sinetron sampai Ibu rumah tangga, ulama yang konservatif sampai pemusik hipster yang paling progresif sekalipun, siapapun sah-sah saja menunjukkan rasa nasionalisme. Malah, dari SD kita sudah dilatih untuk cinta tanah air. Belum lagi pelajaran PPKN yang dua kali seminggu mengingatkan kita untuk bela negara.

Jadi, waktu saya diberitahu bahwa kata ‘nasionalisme’ ternyata mengandung maksud-maksud terselubung, berkonotasi pada gerakan “ultrakanan” dan supremasi kulit putih, tentu saya kaget bukan kepalang. Masa, bocah SD berseragam putih merah disandingkan dengan demonstran Neo-Nazi di Amerika Serikat?

Zaman sekolah dulu, pesan-pesan nasionalis tidak pernah absen dari upacara bendera di Hari Kemerdekaan dan Hari Sumpah Pemuda. Setiap tahun, sang Pembina upacara membungkus amanatnya kira-kira seperti ini:

“Anak-anak, di tahun 1945 para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan dengan mengangkat senjata. Sekarang, waktunya kalian sebagai pemuda yang melanjutkan perjuangan mereka; bukan untuk berperang melawan penjajah, melainkan berperang melawan kemalasan! Kalian bertanggung jawab mempertahankan kemerdekaan kita dengan mengharumkan nama bangsa melalui prestasi kalian!”

Pesan yang sama, dua sampai tiga kali setahun selama dua belas tahun. Setelah beberapa lama di luar negeri, saya mulai menyadari uniknya kebiasaan ini. Kenapa Bapak Ibu guru dulu gencar sekali menyuruh kami tetap “berperang” di saat meskipun jelas-jelas sudah merdeka sejak 1945?

“Mengharumkan nama bangsa” telah menjadi mantra sakti yang kerap dijadikan pelecut rakyat (terutama anak muda) untuk berkarya. Ikut olimpiade matematika, untuk “mengharumkan nama bangsa”. Jadi artis mancanegara, bisa “mengharumkan nama bangsa”. Bangun startup digital, kalau berhasil nanti akan “mengharumkan nama bangsa”. Lihat saja rapper Rich Brian yang ketenarannya dikaitkan dengan, lagi-lagi, mengharumkan nama Indonesia. Padahal, lagu-lagunya tidak ada yang menyebut Indonesia, apalagi mengandung nilai-nilai lokal. Rumah produksinya pun berbasis di California.

Hebatnya, ada banyak pemuda Indonesia termasuk kalangan milenial yang tercandu oleh pemikiran tersebut. Contohnya seperti posting Linkedin di bawah ini:

Anonim

Setelah tiga tahun tinggal di luar negeri, saya mulai berpikir, aneh sekali obsesi negara kita terhadap nasionalisme. Lama-lama, rasanya anak bangsa seperti dijadikan sapi perah untuk prestasi negara. Padahal, bukankah kesuksesan pribadi berasal dari usaha sendiri?

Sampai pada suatu hari di bulan November 2018 saya iseng ikut kuliah terbuka mengenai dunia persinetronan di Vietnam (jangan tanya kenapa). Ibu Dosen bercerita mengenai kondisi ekonomi Vietnam yang sekarang sudah cukup liberal dan perkembangan pesat sektor kewirausahaan di sana sejak tahun 90an. Lalu, sang Dosen mengatakan:

“Opera-opera sabun Vietnam berpusat pada kisah-kisah di mana sang protagonis biasanya adalah petani yang berubah profesi menjadi wirausahawan, menguraikan gagasan kisah sukses yang benar-benar ‘Viet’ — di mana kesuksesan pribadi Anda juga adalah kesuksesan negara Anda.”

Ternyata bukan hanya Indonesia yang menggabungkan konsep kesuksesan pribadi dengan nasionalisme. Mungkin, Vietnam memiliki budaya yang serupa karena sama-sama merupakan negara Asia Tenggara yang pernah mengalami baik pahitnya masa penjajahan maupun pergumulan dalam membangkitkan ekonomi negara. Memang sejarah ideologi kedua negara jauh berbeda, tapi kemiripan budaya Timur dan pengalaman sebagai negara berkembang tidak bisa dipungkiri.

Saya menyadari bahwa rasa cinta tanah air dan bela negara yang ditanamkan dalam diri saya sejak kecil itu bukan suatu hal yang aneh apalagi salah. Pembauran konsep kesuksesan dengan nasionalisme yang ditemui di Indonesia dan Vietnam adalah cara negara-negara tersebut mengartikan ideologi kapitalisme yang masuk ke Asia Tenggara pada era pertengahan dan akhir tahun 80an. Dapat dibayangkan bahwa kapitalisme pasti terasa asing dan ke-Barat-Baratan pada saat itu, tidak dapat dicerna dan dimengerti rakyat Indonesia yang sangat komunal dan baru ‘mentas’ total dari era penjajahan. Jadi, saya tidak perlu bingung atau heran dengan fenomena ini.

Ketika McDonald’s baru sampai ke Indonesia, mereka menyesuaikan citarasa dengan lidah lokal dengan menyediakan saus sambal dan menu ayam goreng. Ketika kapitalisme diperkenalkan kepada orang Indonesia, diperlukan faktor yang dapat menjembatani kedua belah pihak supaya terjadi asimilasi budaya. Di sinilah, peran nasionalisme sebagai penggerak karya dan kreativitas bangsa terwujud. Asimilasi seperti ini juga bukan hal baru. Lihat saja mitos “Lutung Kasarung” yang pada dasarnya hanyalah sebuah versi lokal dari kisah Jerman “Beauty and the Beast.” Sama juga dengan dongeng “Bawang Merah dan Bawang Putih” yang sebenarnya adalah kisah Cinderella ala Indonesia.

Ternyata saya salah. Bibit-bibit nasionalisme yang ditanam di dalam diri saya bukanlah sekedar koar-koar atau propaganda, melainkan sebuah motor budaya yang mendorong anak bangsa untuk berekonomi. Sikap ini justru terbukti telah menghasilkan banyak buah terlebih di era digital ini. Salah satu pendiri Bukalapak, Fajrin Rasyid, pernah berkata:

“Menurut saya yang namanya decacorn unicorn itu bukan sesuatu yang kita cari sebagai tujuan utama. Tujuan utama bukalapak terdekat adalah bagimana kami bisa terus berkembang dan bisa memajukan UKM di Indonesia.”

Pendiri Go-Jek, Nadiem Makarim juga pernah berkata bahwa tujuan utama Go-Jek adalah memajukan Indonesia lewat teknologi. Bahkan, beberapa startup digital seperti Bizzy Indonesia dan Modalku (Go Blue!)didirikan dengan misi untuk mendukung ekonomi bersih di Indonesia dan memajukan ekonomi Indonesia.

Laman Utama Bizzy Indonesia
Laman Utama Modalku

Tidak ada yang aneh atau salah dengan menjadi warganegara yang cinta tanah air. Tiga tahun sekolah di Amerika Serikat akhirnya gagal menghapus dua belas tahun amanat pembina upacara. Toh, saya pun akan langsung pulang ke Indonesia setelah lulus kuliah.

Jadi kalau Anda tanya kepada saya “kenapa kamu langsung pulang?”

Anda tahu lah ya, apa jawabannya.

--

--